
WEDA, TERBITMALUT.COM — Kawasan wisata Goa Boki Maruru, yang terletak di Desa Sagea Kiya, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, kini tak lagi menyimpan hanya keindahan alam, tetapi juga konflik yang berkepanjangan.
Perseteruan antara pemerintah desa, pemilik lahan, dan pelaku usaha kecil semakin meruncing—hingga menutup ruang mata pencaharian warga yang menggantungkan hidup dari pariwisata lokal tersebut.
Masalah ini mencuat ketika jalan menuju kawasan wisata Goa Boki Maruru di palang oleh pemerintah Desa Sagea Kiya. Akibatnya, aktivitas pengelolaan wisata lumpuh total. Pelaku UMKM, pengelola kawasan, hingga pemilik lahan pun tak bisa beraktivitas sebagaimana biasanya.
“Saya heran, kenapa kami yang selama ini kelola, punya akta pendirian resmi dari notaris, justru dibilang tak punya dasar hukum,” ujar Rusman, salah satu warga dan pengelola usaha wisata di kawasan tersebut, penuh kesal.

Menurut dia, pemalangan ini bukan sekadar kebijakan administratif. Ia pun menduga ada muatan politik di balik keputusan pemerintah desa, yang katanya mendapat restu langsung dari Bupati Ikram Malan Sangadji dan Sekda Bahri Sudirman.
Puncak kekesalan warga terjadi pada Kamis malam, 17 April 2025. Pertemuan di rumah dinas Camat Weda Utara yang dihadiri Bupati, Sekda, Kadis Pendapatan Daerah, pelaku usaha, dan pemilik lahan, tidak menghasilkan titik terang. Sebaliknya, pernyataan-pernyataan dari pihak pemerintah justru memperkeruh suasana.
Rusman menuturkan, dalam pertemuan tersebut, Bupati dan Sekda menyatakan, bahwa pengelola dan pemilik lahan tak punya hak hukum atas kawasan wisata. Alasannya, karena sungai, goa, jalan, dan area parkir merupakan aset pemerintah daerah.
Tak hanya itu, Rusman juga mengaku mendapat tekanan verbal. “Kalau kami melawan, katanya kami bisa dijerat hukum, bahkan dibuat susah. Saya merasa diperlakukan seperti bukan bagian dari masyarakat Halmahera Tengah,”ungkapnya.
Yang lebih menyakitkan lagi, lanjut Rusman, muncul dugaan bahwa konflik ini berbau dendam politik. “Bupati sampai bilang, ‘Torang yang tara iko pa saya sa kong’, artinya karena kami bukan pendukungnya waktu pilkada kemarin. Ini sudah bukan sekadar konflik administrasi, ini dendam politik,” ucap Risman menirukan ucapan sang Bupati.
Sekda Bahri Sudirman pun disebutkan terang-terangan mengakui bahwa dialah yang menyuruh pemerintah desa melaporkan para pengelola ke polisi dan memerintahkan pemalangan jalan. Tujuannya?. Supaya para pelaku UMKM yang sebagian besar adalah ibu-ibu kehilangan pendapatan.
Selama empat tahun terakhir, kawasan Goa Boki Maruru dikelola oleh masyarakat dan pelaku usaha kecil. Namun, kata Rusman, komitmen awal antara pemerintah desa dan pemilik lahan tak pernah ditepati.
“Kami dijanjikan hak per bulan, tapi tak pernah diberi. Bahkan, keluarga saya diperlakukan buruk di lahan mereka sendiri,”jelasnya.
Kini, masyarakat Desa Sagea Kiya yang menggantungkan hidup dari pariwisata itu hanya bisa berharap ada keadilan dari media dan jalur hukum.
“Kami hanya ingin keadilan. Kalau pemerintah daerah sudah bicara pakai tekanan dan politik, ke mana lagi kami mengadu?,”ucapnya. (**)
Penulis : Dewa
Editor : Redaksi